Minggu, 14 Desember 2014

Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir?

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah ditanya, “Apa hukum seorang yang sujud kepada kuburan dan bertawaf mengelilinginya? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan?“.
Beliau menjawab sebagai berikut:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:
Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada seseorang yang telah diutus Allah sebagai rahmat alam semesta, keluarganya, dan sahabatnya hingga hari akhir,
Mengagungkan makhluk dengan berbagai ibadah lahiriah disertai tadzallul (penghinaan diri), khudlu’ (ketundukan) dan hubb (kecintaan) seperti rukuk dan sujud kepada penghuni kubur; menyembelih kepadanya; berthawaf mengelilingi kuburannya; berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya; meminta untuk memberikan manfaat dan menolak bala/bahaya; atau perbuatan semisal yang merupakan ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah ta’ala, maka memalingkan ibadah tersebut kepada selain Allah dapat menghapus tauhid dalam diri seseorang.
Hal tersebut merupakan syirik akbar dalam peribadahan karena segala bentuk ibadah yang hanya diperuntukkan kepada Allah tidak boleh diperuntukkan kepada selain-Nya sedikit pun. Allah ta’ala telah berfirman,
﴿لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا للهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾
“Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakan keduanya” [QS. Fushshilat : 37].
Sebagaimana dalam ayat di atas, kedudukan sebagai makhluk Allah itu setara antara matahari dan bulan dengan nabi, wali, batu, pohon, dan makhluk yang lain. Dengan demikian bersujud serta ibadah yang semisal merupakan hak Allah yang khusus diperuntukkan kepada-Nya semata. Setiap orang yang bersujud kepada selain Allah dengan diiringi perasaan hina, ketundukan, dan cinta, sungguh telah mempersekutukan Allah dengan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam.
Adapun melakukan rukuk dan sujud kepada Allah ta’ala di samping penghuni kubur; berdo’a kepada Allah ta’ala di samping kubur atau melakukan berbagai bentuk peribadahan di samping kubur karena mencari keberkahan yang ada pada diri penghuni kubur merupakan syirik ashghar yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan terkadang dapat mencapai syirik akbar tergantung pada keyakinan yang ada dalam diri pelakunya.
Adapun menutupi kubur dengan berbagai macam kain penutup, mengapur/menyemennya, menulisinya serta bersafar ke suatu kuburan tertentu (karena meyakini adanya keutamaan dari kuburan tersebut), maka hal ini termasuk perkara yang tidak dituntunkan dan diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang melarangnya.
Dan penetapan hukumnya berbeda-beda tergantung pada kondisi berikut:
  • Seseorang melakukan tindakan yang dapat menafikan (mengurangi) kesempurnaan tauhid –terjerumus dalam syirik kecil-  tidaklah dihukumi sebagaimana seorang yang terjerumus dalam syirik akbar. Demikian halnya seorang yang melakukan bid’ah mufassiqah muharramah tentu lebih utama untuk tidak dihukumi telah melakukan syirik akbar atau syirik kecil;
  • Adapun pelaku kesyirikan yang dapat menafikan (menghapus) tauhid –syirik akbar- dan dia mengetahui hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, maka ahlu sunnah sepakat dia adalah musyrik yang melakukan syirik akbar dan telah keluar dari agama Islam karena dirinya tahu dan mengerti ajaran agama serta hujjah telah tegak atas dirinya. Dia berhak mendapatkan siksa di dunia dan akhirat karena adzab/siksa berhak diperolehnya dikarenakan dua sebab:
    • Sebab pertama: berpaling dari dalil; enggan mendengar serta mengamalkannya berikut konsekuensinya;
    • Sebab kedua: menentang dalil setelah mengamalkan serta menolak kewajibannya.
    Poin pertama merupakan kufur i’radl (kufur karena berpaling), sedangkan poin kedua adalah kufur ‘inad (kufur karena menentang) [Thariq al-Hijratain hlm. 347]
  • Hal di atas berbeda dengan seorang yang melakukan tindakan yang dapat menafikan atau membatalkan tauhid -syirik akbar- dalam kondisi dirinya tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, seperti seorang yang baru masuk Islam; hidup di sebuah negeri yang tersebar kebodohan terhadap ajaran Islam; tumbuh di daerah pedalaman; atau permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang samar hukumnya dan tidak jelas bagi dirinya.
Maka setiap orang yang melakukan syirik akbar seperti orang yang bersujud kepada selain Allah, baik kepada penghuni kubur atau wali diiringi dengan perasaan hina, ketundukan , harapan dan kecintaan, maka dia adalah seorang yang menyekutukan Allah dengan makhluk dalam peribadahan meski dia mengucapkan syahadat ketika bersujud. Karena dengan bersujud kepada selain Allah dirinya telah mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan syahadat yang diucapkan.
Orang tersebut adalah musyrik dari segi penamaan dikarenakan keburukan yang dilakukannya, yaitu bersujud kepada selain Allah. Namun dari segi penerapan hukuman dia diberi udzur atas ketidak-tahuannya karena pelaku syirik akbar tidak berhak dihukum kecuali setelah memperoleh penjelasan dan ditegakkan hujjah atas dirinya. Hal ini dikarenakan penerapan hukuman dan siksa bergantung pada penyampaian risalahberdasarkan firman Allah ta’ala,
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
“Dan Kami tidak akan menyiksa suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Isra: 15].
Dan juga firman Allah,
﴿رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [QS. An-Nisa’: 165].
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata,
«وأمَّا كفرُ الجهل مع عدم قيام الحجَّة وعدمِ التمكُّن من معرفتها فهذا الذي نفى اللهُ التعذيبَ عنه حتى تقوم حجَّةُ الرسل»
“Adapun kufur jahl yang tidak disertai adanya qiyamu al-hujjah (penegakan hujjah) serta pelakunya tidak memiliki kesanggupan untuk mengetahuinya, maka penerapan siksa dalam kondisi demikianlah yang dinafikan (dimaafkan) Allah sampai ditegakkannya hujjah para rasul” [Thariq al-Hijratain hlm. 347].
Demikianlah uraian akan hal ini. Dan penetapan hukum syar’i terhadap isu ini sepatutnya diserahkan kepada ahli ilmu dan dirayah yang memahami berbagai kondisi yang disebutkan sebelumnya.
والعلم عند الله تعالى، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلَّم تسليمًا

Tidak ada komentar:

Posting Komentar