Senin, 15 Desember 2014

Alhamdulillah Harga BBM Naik

Alhamdulillah harga BBM naik“. Bisakah kita berkata seperti itu ketika kita mendapatkan hal yang tidak kita sukai, yang membuat kita bahkan hidup susah?

Keadaan Seorang Mukmin Seluruhnya Baik

Yang jelas, seluruh keadaan seorang mukmin itu baik, ketika ia susah maupun senang. Keadaan susah, ia bersabar. Keadaan senang, ia bersyukur.
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Ar Rumi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999).
Intinya hadits di atas berisi dorongan untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar ketika susah, bersyukur ketika mendapatkan nikmat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Keadaan seorang mukmin sesuai yang Allah tetapkan seluruhnya baik. Jika ia diuji dengan suatu musibah, ia bersabar atas takdir Allah dan menanti kelapangan dari Allah, juga mengharap pahala dari-Nya. Itu baik baginya. Di antara yang meraih seperti ini adalah orang yang berpuasa.
Jika ia diberi nikmat agama seperti ilmu dan amalan shalih, juga nikmat dunia seperti harta, anak dan keluarga, ia bersyukur. Syukur tersebut dibuktikan dengan melakukan ketaatan pada Allah. Karena syukur bukanlah hanya ucapan lisan, “Saya bersyukur pada Allah.” Namun syukur yang hakiki adalah dengan menjalankan ketaatan pada Allah.”
Jadi, bersyukur pada Allah termasuk kebaikan. Syukur ini pada dua nikmat yaitu nikmat agama dan nikmat dunia.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 198).

Bisakah Kita Mengucapkan Alhamdulillah Saat BBM Naik?

Tengok saja bagaimana suri tauladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan pada kita ketika mendapatkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihatSegala puji hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah ala kulli halSegala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah no. 3803. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Kenapa sampai ditimpa musibah pun disyukuri? Mengapa BBM naik malah mengucapkan alhamdulillah?
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hal yang tidak disukai tersebut malah disyukuri karena Allah memberikan pahala bagi siapa saja yang mau bersabar pada musibah lebih dari musibah tersebut.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 175).
Kata Syaikh Ibnu Utsaimin pula bahwa sebagian wanita ahli ibadah ada yang terluka di jarinya, malah ia memuji Allah (bersyukur pada Allah). Lalu ditanya kenapa sampai ia bersykur. Ia pun menjawab, “Pahala dari musibah ini telah melupakanku dari luka yang sakit tersebut.” (Idem).

Harga Barang Naik, Tidak Mempengaruhi Rezeki

Ingatlah bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah. Jadi tak perlu khawatir dengan BBM yang naik, tak perlu punya rasa takut dengan harga barang kebutuhan pokok pun yang ikut naik. Buktinya sejak dulu BBM naik, malah kendaraan makin banyak, malah masyarakat tetap konsumtif.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553)
Dalam ayat lain disebutkan pula,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isra’: 30)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 71)
Jadi rezeki sudah diatur, jangan pernah khawatir.
Semoga kita bisa bersabar atas segala musibah, termasuk bersabar dalam kebijakan kenaikan BBM saat ini.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Minggu, 14 Desember 2014

Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir?

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah ditanya, “Apa hukum seorang yang sujud kepada kuburan dan bertawaf mengelilinginya? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan?“.
Beliau menjawab sebagai berikut:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:
Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada seseorang yang telah diutus Allah sebagai rahmat alam semesta, keluarganya, dan sahabatnya hingga hari akhir,
Mengagungkan makhluk dengan berbagai ibadah lahiriah disertai tadzallul (penghinaan diri), khudlu’ (ketundukan) dan hubb (kecintaan) seperti rukuk dan sujud kepada penghuni kubur; menyembelih kepadanya; berthawaf mengelilingi kuburannya; berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya; meminta untuk memberikan manfaat dan menolak bala/bahaya; atau perbuatan semisal yang merupakan ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah ta’ala, maka memalingkan ibadah tersebut kepada selain Allah dapat menghapus tauhid dalam diri seseorang.
Hal tersebut merupakan syirik akbar dalam peribadahan karena segala bentuk ibadah yang hanya diperuntukkan kepada Allah tidak boleh diperuntukkan kepada selain-Nya sedikit pun. Allah ta’ala telah berfirman,
﴿لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا للهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾
“Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakan keduanya” [QS. Fushshilat : 37].
Sebagaimana dalam ayat di atas, kedudukan sebagai makhluk Allah itu setara antara matahari dan bulan dengan nabi, wali, batu, pohon, dan makhluk yang lain. Dengan demikian bersujud serta ibadah yang semisal merupakan hak Allah yang khusus diperuntukkan kepada-Nya semata. Setiap orang yang bersujud kepada selain Allah dengan diiringi perasaan hina, ketundukan, dan cinta, sungguh telah mempersekutukan Allah dengan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam.
Adapun melakukan rukuk dan sujud kepada Allah ta’ala di samping penghuni kubur; berdo’a kepada Allah ta’ala di samping kubur atau melakukan berbagai bentuk peribadahan di samping kubur karena mencari keberkahan yang ada pada diri penghuni kubur merupakan syirik ashghar yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan terkadang dapat mencapai syirik akbar tergantung pada keyakinan yang ada dalam diri pelakunya.
Adapun menutupi kubur dengan berbagai macam kain penutup, mengapur/menyemennya, menulisinya serta bersafar ke suatu kuburan tertentu (karena meyakini adanya keutamaan dari kuburan tersebut), maka hal ini termasuk perkara yang tidak dituntunkan dan diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang melarangnya.
Dan penetapan hukumnya berbeda-beda tergantung pada kondisi berikut:
  • Seseorang melakukan tindakan yang dapat menafikan (mengurangi) kesempurnaan tauhid –terjerumus dalam syirik kecil-  tidaklah dihukumi sebagaimana seorang yang terjerumus dalam syirik akbar. Demikian halnya seorang yang melakukan bid’ah mufassiqah muharramah tentu lebih utama untuk tidak dihukumi telah melakukan syirik akbar atau syirik kecil;
  • Adapun pelaku kesyirikan yang dapat menafikan (menghapus) tauhid –syirik akbar- dan dia mengetahui hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, maka ahlu sunnah sepakat dia adalah musyrik yang melakukan syirik akbar dan telah keluar dari agama Islam karena dirinya tahu dan mengerti ajaran agama serta hujjah telah tegak atas dirinya. Dia berhak mendapatkan siksa di dunia dan akhirat karena adzab/siksa berhak diperolehnya dikarenakan dua sebab:
    • Sebab pertama: berpaling dari dalil; enggan mendengar serta mengamalkannya berikut konsekuensinya;
    • Sebab kedua: menentang dalil setelah mengamalkan serta menolak kewajibannya.
    Poin pertama merupakan kufur i’radl (kufur karena berpaling), sedangkan poin kedua adalah kufur ‘inad (kufur karena menentang) [Thariq al-Hijratain hlm. 347]
  • Hal di atas berbeda dengan seorang yang melakukan tindakan yang dapat menafikan atau membatalkan tauhid -syirik akbar- dalam kondisi dirinya tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, seperti seorang yang baru masuk Islam; hidup di sebuah negeri yang tersebar kebodohan terhadap ajaran Islam; tumbuh di daerah pedalaman; atau permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang samar hukumnya dan tidak jelas bagi dirinya.
Maka setiap orang yang melakukan syirik akbar seperti orang yang bersujud kepada selain Allah, baik kepada penghuni kubur atau wali diiringi dengan perasaan hina, ketundukan , harapan dan kecintaan, maka dia adalah seorang yang menyekutukan Allah dengan makhluk dalam peribadahan meski dia mengucapkan syahadat ketika bersujud. Karena dengan bersujud kepada selain Allah dirinya telah mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan syahadat yang diucapkan.
Orang tersebut adalah musyrik dari segi penamaan dikarenakan keburukan yang dilakukannya, yaitu bersujud kepada selain Allah. Namun dari segi penerapan hukuman dia diberi udzur atas ketidak-tahuannya karena pelaku syirik akbar tidak berhak dihukum kecuali setelah memperoleh penjelasan dan ditegakkan hujjah atas dirinya. Hal ini dikarenakan penerapan hukuman dan siksa bergantung pada penyampaian risalahberdasarkan firman Allah ta’ala,
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
“Dan Kami tidak akan menyiksa suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Isra: 15].
Dan juga firman Allah,
﴿رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [QS. An-Nisa’: 165].
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata,
«وأمَّا كفرُ الجهل مع عدم قيام الحجَّة وعدمِ التمكُّن من معرفتها فهذا الذي نفى اللهُ التعذيبَ عنه حتى تقوم حجَّةُ الرسل»
“Adapun kufur jahl yang tidak disertai adanya qiyamu al-hujjah (penegakan hujjah) serta pelakunya tidak memiliki kesanggupan untuk mengetahuinya, maka penerapan siksa dalam kondisi demikianlah yang dinafikan (dimaafkan) Allah sampai ditegakkannya hujjah para rasul” [Thariq al-Hijratain hlm. 347].
Demikianlah uraian akan hal ini. Dan penetapan hukum syar’i terhadap isu ini sepatutnya diserahkan kepada ahli ilmu dan dirayah yang memahami berbagai kondisi yang disebutkan sebelumnya.
والعلم عند الله تعالى، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلَّم تسليمًا

Jumat, 12 Desember 2014

Fatwa Ulama: Dalam Membelanjakan Uangnya Perlukah Istri Minta Izin Suami?

Fatwa Syaikh Musthafa Al Adawi
Soal:
Jika seorang wanita mendapat warisan dari ayahnya, apakah boleh ia membelanjakannya tanpa izin suaminya, ataukah ada batasannya?
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم, وبعد
Ya, menurut pendapat jumhur ulama, ia boleh membelanjakan harta tersebut tanpa izin suaminya. Karena harta tersebut milik pribadinya sendiri. Namun ada sebuah hadits yang dijadikan pegangan bagi yang berpendapat terlarangnya hal tersebut, yaitu hadits:
لا يحل لامرأة عطية من مالها إذا ملك رجل عصمتها إلا بإذن زوجها
tidak halal bagi seorang wanita untuk memberikan suatu pemberian dari hartanya, jika akad nikahnya masih dimiliki oleh suaminya, kecuali dengan izin si suami tersebut
walaupun dalam hadits ini ada sebagian sisi pandang dan bantahan (bagi pendapat jumhur), namun dengan statusnya yang hasan ini, ia nampak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Yaitu hadits yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menghadap para wanita  di hari Id, setelah selesai berkhutbah Id. Kemudian beliau memberikan dorongan kepada mereka untuk banyak bersedekah. Seketika itu pun mereka langsung memberikan kalung dan gelang yang mereka pakai di kain baju Bilal. Dan tidak terdapat keterangan bahwa mereka minta izin suami mereka terlebih dahulu. Ini adalah dalil pertama, dan hadits ini terdapat dalam Shahih Al Bukhari.
Dan dalil yang lainnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah Ummul Mukminin Maimunah bintu Al Harits radhiallahu’anha. Maimunan lalu berkata:
يا رسول الله! أما شعرت أني أعتقت وليدتي؟ -تعني أمة من الإماء- قال عليه الصلاة والسلام: أما إنكِ لو أعطيتها لأخوالك لكان خيراً لكِ
Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah tahu bahwa saya telah memerdekakan walidah saya?” (yaitu salah satu budaknya). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikan ia diberikan kepada kepada pamanmu itu lebih baik untukmu“.
Poin intinya dari hadits ini, Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin suaminya, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini dilihat dari perkataan Maimunah, “Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah tahu bahwa saya telah memerdekakan?“.
Oleh karena itu, boleh bagi wanita untuk membelanjakan hartanya sendiri walaupun tidak seizin suaminya. Namun, dalam rangka menjalin rasa cinta dan sayang yang hendaknya senantiasa dijaga oleh suami-istri, dianjurkan bagi istri untuk mendiskusikan dengan suaminya mengenai kemana hartanya akan dibelanjakan, dan kepada siapa akan dibelanjakan. Ini dianjurkan namun tidak wajib. Wallahu Ta’ala A’lam.