Minggu, 22 November 2015

RESENSI BUKU METODE PENELITIAN (Science Methods, Metode Tradisional dan Natural Setting, berikut Tehnik Penulisannya)



Penulis                                     : DR. Limas Dodi, M.Hum
Penerbit                                   : Pustaka Ilmu
Cetakan / Tahun Terbit           : Pertama / 2015
Tebal Buku / Halaman            : 16 x 24 cm /  XX + 369 halaman     
ISBN                                       : 978-602-7853-97-3  

Buku ini adalah hasil karya Limas Dodi, dia lahir di Bojonegoro pada tahun 1985. Buku ini berisi pembahasan Perspektif metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, yang mana di jelaskan secara rinci berdasarkan perbedaan, menggabungkan kedua metode kuantitatif dan kualitatif, dan kompetensinya. Adapun perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif dari segi aksioma (pandangan dasar) yakni sifat realitas metode kuantitatif bersifat kongkrit diamati panca indera dan menentukan variabel mana yang akan diteliti, sedangkan metode kualitatif bersifat menyeluruh sehingga dapat menghubungkan anatara variabel satu dengan yang lain.
 Dari segi proses penelitian, metode kuantitatif menjawab rumusan masalah yang sifatnya sementara, menguji hipotesis dengan metode, pendekatan yang sesuai, dan pengumpulan data obyek berbentuk populasi maupun sampel. Sedangkan metode kualitatif, setelah peneliti menganalisis baru menemukan tema dengan mengkonstruksikan data, memperoleh data pada setiap tahapan (deskripsi, reduksi, seleksi) secara sekuler, peneliti memasuki obyek peneliti atau situasi sosial dan peneliti mencandra kesimpulan yang telah dibuat kredibel atau tidak. Dari segi karakteristik penelitian, desain kuantitatif bersifat spesifik dengan ditentukan semenjak awal sebagai pegangan, sedangkan kualitatif bersifat fleksibel. Tujuan kuantitatif menunjukkan hubungan antar variabel, menguji teori, sedangkan kualitatif menemukan pola hubungan dan memperoleh pemahaman makna. Teknik pengumpulan data melalui koesioner, analisis isi, observasi dan wawancara untuk penelitian kuantitatif. Sedang metode kualitatif menggunakan participan observation, in depth interview, dokumentasi, trigulasi. Instrumen penelitian pada metode kuantitatif menggunakan tes, angket, wawancara, dan pada metode kualitatif peneliti sebagai instrumen itu sendiri, buku catatan, tape recorder dan lain-lain.
Penulis dalam buku ini selalu menitik beratkan ketajaman atau kepekaan peneliti yang menentukan suatu penelitian mempunyai daya tarik (unik), serta mempunyai objektivitas yang tinggi terbebas dari prasangka pribadi (memihak) baik dari segi politik, agama, sosial dan lain-lain. Sehingga penelitian dapat dipertanggung jawabkan secara teoritis maupun praktisnya. Selain itu, buku ini juga menjelaskan mengenai perspektif metode penelitian yang berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, membahas pengertian dan perbedaan dari metode-metode penelitian baik itu penelitian kuantitatif maupun kualitatif, apakah dari metode kualitatif dan kuantitatif dapat digabungkan dan yang terakhir kompetensi penelitian kualitatif dan kuantitatif.
Bagi seorang mahasiswa buku ini akan berguna ketika melakukan penelitian. Karena mahasiswa sangat identik dengan penelitian, dengan penelitian mahasiswa dapat mencari jawaban yang benar, logis atas suatu masalah yang didasarkan atas data empiris yang terpercaya dan juga dapat dijadikan sebagai solusi terbaik untuk upaya pemecahan suatu masalah.
Kelebihan dari buku ini yaitu bahasanya mudah dipahami, penulisanya sistematis, layak digunakan sebagai referensi skripsi maupun thesis karena penulis sendiri seorang doktor, dari apa-apa yang terdapat dalam pembahasan mampu memberi kemudahan dalam menyusun proposal penelitian maupun menyusun laporan hasil penelitian karena pembahasannya lengkap dari mulai metode penelitian sampai dengan teknik penulisan proposal.
Kelemahan dari buku ini adalah terdapat beberapa kata dalam bahasa inggris yang tidak disertai terjemahannya, tidak adanya contoh judul penelitian, maupun proposal penelitian.
Dapat disimpulkan buku ini layak dipakai sebagai referensi bagi peneliti atau mahasiswa yang akan menyusun proposal kuantitatif maupun kualitatif. Buku ini membahas secara jelas perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif dari segi: objek kasusnya, analisisnya maupun teknik penyusunan proposal penelitian.  


Senin, 15 Desember 2014

Alhamdulillah Harga BBM Naik

Alhamdulillah harga BBM naik“. Bisakah kita berkata seperti itu ketika kita mendapatkan hal yang tidak kita sukai, yang membuat kita bahkan hidup susah?

Keadaan Seorang Mukmin Seluruhnya Baik

Yang jelas, seluruh keadaan seorang mukmin itu baik, ketika ia susah maupun senang. Keadaan susah, ia bersabar. Keadaan senang, ia bersyukur.
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Ar Rumi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999).
Intinya hadits di atas berisi dorongan untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar ketika susah, bersyukur ketika mendapatkan nikmat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Keadaan seorang mukmin sesuai yang Allah tetapkan seluruhnya baik. Jika ia diuji dengan suatu musibah, ia bersabar atas takdir Allah dan menanti kelapangan dari Allah, juga mengharap pahala dari-Nya. Itu baik baginya. Di antara yang meraih seperti ini adalah orang yang berpuasa.
Jika ia diberi nikmat agama seperti ilmu dan amalan shalih, juga nikmat dunia seperti harta, anak dan keluarga, ia bersyukur. Syukur tersebut dibuktikan dengan melakukan ketaatan pada Allah. Karena syukur bukanlah hanya ucapan lisan, “Saya bersyukur pada Allah.” Namun syukur yang hakiki adalah dengan menjalankan ketaatan pada Allah.”
Jadi, bersyukur pada Allah termasuk kebaikan. Syukur ini pada dua nikmat yaitu nikmat agama dan nikmat dunia.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 198).

Bisakah Kita Mengucapkan Alhamdulillah Saat BBM Naik?

Tengok saja bagaimana suri tauladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan pada kita ketika mendapatkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihatSegala puji hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah ala kulli halSegala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah no. 3803. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Kenapa sampai ditimpa musibah pun disyukuri? Mengapa BBM naik malah mengucapkan alhamdulillah?
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hal yang tidak disukai tersebut malah disyukuri karena Allah memberikan pahala bagi siapa saja yang mau bersabar pada musibah lebih dari musibah tersebut.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 175).
Kata Syaikh Ibnu Utsaimin pula bahwa sebagian wanita ahli ibadah ada yang terluka di jarinya, malah ia memuji Allah (bersyukur pada Allah). Lalu ditanya kenapa sampai ia bersykur. Ia pun menjawab, “Pahala dari musibah ini telah melupakanku dari luka yang sakit tersebut.” (Idem).

Harga Barang Naik, Tidak Mempengaruhi Rezeki

Ingatlah bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah. Jadi tak perlu khawatir dengan BBM yang naik, tak perlu punya rasa takut dengan harga barang kebutuhan pokok pun yang ikut naik. Buktinya sejak dulu BBM naik, malah kendaraan makin banyak, malah masyarakat tetap konsumtif.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553)
Dalam ayat lain disebutkan pula,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isra’: 30)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 71)
Jadi rezeki sudah diatur, jangan pernah khawatir.
Semoga kita bisa bersabar atas segala musibah, termasuk bersabar dalam kebijakan kenaikan BBM saat ini.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Minggu, 14 Desember 2014

Sujud dan Thawaf di Kuburan, Apakah Kafir?

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah ditanya, “Apa hukum seorang yang sujud kepada kuburan dan bertawaf mengelilinginya? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan?“.
Beliau menjawab sebagai berikut:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد:
Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada seseorang yang telah diutus Allah sebagai rahmat alam semesta, keluarganya, dan sahabatnya hingga hari akhir,
Mengagungkan makhluk dengan berbagai ibadah lahiriah disertai tadzallul (penghinaan diri), khudlu’ (ketundukan) dan hubb (kecintaan) seperti rukuk dan sujud kepada penghuni kubur; menyembelih kepadanya; berthawaf mengelilingi kuburannya; berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya; meminta untuk memberikan manfaat dan menolak bala/bahaya; atau perbuatan semisal yang merupakan ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah ta’ala, maka memalingkan ibadah tersebut kepada selain Allah dapat menghapus tauhid dalam diri seseorang.
Hal tersebut merupakan syirik akbar dalam peribadahan karena segala bentuk ibadah yang hanya diperuntukkan kepada Allah tidak boleh diperuntukkan kepada selain-Nya sedikit pun. Allah ta’ala telah berfirman,
﴿لاَ تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا للهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾
“Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakan keduanya” [QS. Fushshilat : 37].
Sebagaimana dalam ayat di atas, kedudukan sebagai makhluk Allah itu setara antara matahari dan bulan dengan nabi, wali, batu, pohon, dan makhluk yang lain. Dengan demikian bersujud serta ibadah yang semisal merupakan hak Allah yang khusus diperuntukkan kepada-Nya semata. Setiap orang yang bersujud kepada selain Allah dengan diiringi perasaan hina, ketundukan, dan cinta, sungguh telah mempersekutukan Allah dengan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam.
Adapun melakukan rukuk dan sujud kepada Allah ta’ala di samping penghuni kubur; berdo’a kepada Allah ta’ala di samping kubur atau melakukan berbagai bentuk peribadahan di samping kubur karena mencari keberkahan yang ada pada diri penghuni kubur merupakan syirik ashghar yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan terkadang dapat mencapai syirik akbar tergantung pada keyakinan yang ada dalam diri pelakunya.
Adapun menutupi kubur dengan berbagai macam kain penutup, mengapur/menyemennya, menulisinya serta bersafar ke suatu kuburan tertentu (karena meyakini adanya keutamaan dari kuburan tersebut), maka hal ini termasuk perkara yang tidak dituntunkan dan diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang melarangnya.
Dan penetapan hukumnya berbeda-beda tergantung pada kondisi berikut:
  • Seseorang melakukan tindakan yang dapat menafikan (mengurangi) kesempurnaan tauhid –terjerumus dalam syirik kecil-  tidaklah dihukumi sebagaimana seorang yang terjerumus dalam syirik akbar. Demikian halnya seorang yang melakukan bid’ah mufassiqah muharramah tentu lebih utama untuk tidak dihukumi telah melakukan syirik akbar atau syirik kecil;
  • Adapun pelaku kesyirikan yang dapat menafikan (menghapus) tauhid –syirik akbar- dan dia mengetahui hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, maka ahlu sunnah sepakat dia adalah musyrik yang melakukan syirik akbar dan telah keluar dari agama Islam karena dirinya tahu dan mengerti ajaran agama serta hujjah telah tegak atas dirinya. Dia berhak mendapatkan siksa di dunia dan akhirat karena adzab/siksa berhak diperolehnya dikarenakan dua sebab:
    • Sebab pertama: berpaling dari dalil; enggan mendengar serta mengamalkannya berikut konsekuensinya;
    • Sebab kedua: menentang dalil setelah mengamalkan serta menolak kewajibannya.
    Poin pertama merupakan kufur i’radl (kufur karena berpaling), sedangkan poin kedua adalah kufur ‘inad (kufur karena menentang) [Thariq al-Hijratain hlm. 347]
  • Hal di atas berbeda dengan seorang yang melakukan tindakan yang dapat menafikan atau membatalkan tauhid -syirik akbar- dalam kondisi dirinya tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, seperti seorang yang baru masuk Islam; hidup di sebuah negeri yang tersebar kebodohan terhadap ajaran Islam; tumbuh di daerah pedalaman; atau permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang samar hukumnya dan tidak jelas bagi dirinya.
Maka setiap orang yang melakukan syirik akbar seperti orang yang bersujud kepada selain Allah, baik kepada penghuni kubur atau wali diiringi dengan perasaan hina, ketundukan , harapan dan kecintaan, maka dia adalah seorang yang menyekutukan Allah dengan makhluk dalam peribadahan meski dia mengucapkan syahadat ketika bersujud. Karena dengan bersujud kepada selain Allah dirinya telah mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan syahadat yang diucapkan.
Orang tersebut adalah musyrik dari segi penamaan dikarenakan keburukan yang dilakukannya, yaitu bersujud kepada selain Allah. Namun dari segi penerapan hukuman dia diberi udzur atas ketidak-tahuannya karena pelaku syirik akbar tidak berhak dihukum kecuali setelah memperoleh penjelasan dan ditegakkan hujjah atas dirinya. Hal ini dikarenakan penerapan hukuman dan siksa bergantung pada penyampaian risalahberdasarkan firman Allah ta’ala,
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
“Dan Kami tidak akan menyiksa suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Isra: 15].
Dan juga firman Allah,
﴿رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [QS. An-Nisa’: 165].
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata,
«وأمَّا كفرُ الجهل مع عدم قيام الحجَّة وعدمِ التمكُّن من معرفتها فهذا الذي نفى اللهُ التعذيبَ عنه حتى تقوم حجَّةُ الرسل»
“Adapun kufur jahl yang tidak disertai adanya qiyamu al-hujjah (penegakan hujjah) serta pelakunya tidak memiliki kesanggupan untuk mengetahuinya, maka penerapan siksa dalam kondisi demikianlah yang dinafikan (dimaafkan) Allah sampai ditegakkannya hujjah para rasul” [Thariq al-Hijratain hlm. 347].
Demikianlah uraian akan hal ini. Dan penetapan hukum syar’i terhadap isu ini sepatutnya diserahkan kepada ahli ilmu dan dirayah yang memahami berbagai kondisi yang disebutkan sebelumnya.
والعلم عند الله تعالى، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلَّم تسليمًا

Jumat, 12 Desember 2014

Fatwa Ulama: Dalam Membelanjakan Uangnya Perlukah Istri Minta Izin Suami?

Fatwa Syaikh Musthafa Al Adawi
Soal:
Jika seorang wanita mendapat warisan dari ayahnya, apakah boleh ia membelanjakannya tanpa izin suaminya, ataukah ada batasannya?
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم, وبعد
Ya, menurut pendapat jumhur ulama, ia boleh membelanjakan harta tersebut tanpa izin suaminya. Karena harta tersebut milik pribadinya sendiri. Namun ada sebuah hadits yang dijadikan pegangan bagi yang berpendapat terlarangnya hal tersebut, yaitu hadits:
لا يحل لامرأة عطية من مالها إذا ملك رجل عصمتها إلا بإذن زوجها
tidak halal bagi seorang wanita untuk memberikan suatu pemberian dari hartanya, jika akad nikahnya masih dimiliki oleh suaminya, kecuali dengan izin si suami tersebut
walaupun dalam hadits ini ada sebagian sisi pandang dan bantahan (bagi pendapat jumhur), namun dengan statusnya yang hasan ini, ia nampak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Yaitu hadits yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menghadap para wanita  di hari Id, setelah selesai berkhutbah Id. Kemudian beliau memberikan dorongan kepada mereka untuk banyak bersedekah. Seketika itu pun mereka langsung memberikan kalung dan gelang yang mereka pakai di kain baju Bilal. Dan tidak terdapat keterangan bahwa mereka minta izin suami mereka terlebih dahulu. Ini adalah dalil pertama, dan hadits ini terdapat dalam Shahih Al Bukhari.
Dan dalil yang lainnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah Ummul Mukminin Maimunah bintu Al Harits radhiallahu’anha. Maimunan lalu berkata:
يا رسول الله! أما شعرت أني أعتقت وليدتي؟ -تعني أمة من الإماء- قال عليه الصلاة والسلام: أما إنكِ لو أعطيتها لأخوالك لكان خيراً لكِ
Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah tahu bahwa saya telah memerdekakan walidah saya?” (yaitu salah satu budaknya). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikan ia diberikan kepada kepada pamanmu itu lebih baik untukmu“.
Poin intinya dari hadits ini, Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin suaminya, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini dilihat dari perkataan Maimunah, “Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah tahu bahwa saya telah memerdekakan?“.
Oleh karena itu, boleh bagi wanita untuk membelanjakan hartanya sendiri walaupun tidak seizin suaminya. Namun, dalam rangka menjalin rasa cinta dan sayang yang hendaknya senantiasa dijaga oleh suami-istri, dianjurkan bagi istri untuk mendiskusikan dengan suaminya mengenai kemana hartanya akan dibelanjakan, dan kepada siapa akan dibelanjakan. Ini dianjurkan namun tidak wajib. Wallahu Ta’ala A’lam.

Minggu, 15 Desember 2013

Kerusakan Dari Sifat Dengki (Hasad)

Tidak jarang, manusia dihinggapi perasaan hasad (dengki), tatkala melihat orang lain mendapat kenikmatan, meraih kesuksesan dan dikaruniai kebaikan. Baik berupa harta, ilmu, kedudukan, dan lain-lain. Padahal, hasad memiliki banyak kerusakan, diantaranya:
Pertama, hasad menyerupai orang-orang Yahudi, manusia yang paling menjijikan, yang pernah Allah laknat menjadi monyet dan babi.
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS. al Baqarah: 109)
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا
ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar” (QS. An Nisa: 54)
Kedua, hasad menunjukkan keburukan jiwa seseorang, karena berarti ia tidak mencintai sesuatu untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai hal itu untuk dirinya.
Ketiga, hasad mengandung penentangan terhadap takdir Allah dan qadha-Nya, karena semua nikmat yang datang kepada manusia merupakan takdir-Nya.
Keempat, hasad akan menyalakan api cemburu dalam hati, sehingga orang yang berhasad akan selalu dalam kekecewaan dan rasa gundah, setiap kali melihat orang lain mendapat kesenangan dan karunia.
Kelima, hasad akan membuat seseorang tidak produktif mengerjakan hal-hal yang bermanfaat dan mengandung maslahat, karena yang senantiasa ia pikirkan hanyalah kenikmatan-kenikmatan yang ada pada orang lain, bagaimana ia bisa datang kepada mereka?
Keenam, hasad bisa menjadi sebab penyakit ‘ain yang dapat mencelakakan orang lain.
Ketujuh, hasad akan membawa pada perpecahan dalam tubuh kaum muslimin.
Wallahu a’lam.

Jumat, 06 Desember 2013

Pelajari Dahulu Adab Dan Akhlaknya Baru Ilmunya

Yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu di zaman ini adalah adab dalam menuntut ilmu. Di zaman modern saat ini, beberapa pendidik merasa adab para murid mulai berkurang. Misalnya:
  • Kurang hormat dengan gurunya
  • Terlambat ketika menghadiri majelis ilmu
  • Tidak mengulangi (muraja’ah) pelajaran sebelumnya
Padahal dengan abda yang baik maka ilmu tersebut menjadi berkah. Bagaimana ingin mendapatkan keberkahan ilmu jika adabnya saja tidak diperhatikan. Ilmu tersebut mungkin tidak akan bertahan lama atau tidak akan mendapatkan berkah.
Padahal di zaman keemasannya adab menuntut ilmu sangat diperhatikan oleh para ulama. Misalnya:
  1. Datang ke majelis ilmu sebelum pelajaran di mulai bahkan ada yang sampai menginap agar dapat tempat duduk terdepan karena majelis ilmu saat itu sangat ramai
  2. Menghapal beberapa buku (matan/ringkasan isi) sebelum belajar ke ulama. Bahkan beberapa ulama mempersyaratkan jika ingin belajar kepadanya harus hafal dahulu. Misalnya imam Malik yang mempersyaratkan harus hafal kitab hadits yang tebal yaitu Al-Muwattha’.
  3. Menjaga suasana belajar dengan fokus dan tidak bermain-main. Misalnya bermain gadget atau HP atau mengobrol dengan temannya.
Misalnya kisah berikut ini, dikisahkan oleh Ahmad bin Sinan mengenai majelis Abdurrahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad, beliau berkata,
كان عبد الرحمن بن مهدي لا يتحدث في مجلسه، ولا يقوم أحد ولا يبرى فيه قلم، ولا يتبسم أحد
Tidak ada seorangpun berbicara di majelis Abdurrahman bin Mahdi, tidak ada seorangpun yang berdiri, tidak ada seorangpun yang mengasah/meruncingkan pena, tidak ada yang tersenyum.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 17/161, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah).
Berikut beberapa kisah dari ulama, mereka menekankan agar belajar adab dahulu baru ilmu. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,
قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah(suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)
Berkata Adz-Dzahabi rahimahullahu,
كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت
Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis [pelajaran] sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 21/373, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah).
Mari kita perbaiki adab kita dalam menuntut ilmu dan mengikhlaskannya kepada Allah.
Demikian semoga bermanfaat

Kamis, 05 Desember 2013

Jika Doamu Tak Dikabulkan

Mungkin ada di antara kita yang telah banyak menengadahkan tangannya untuk berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh tetapi ternyata Allah subhanahu wa ta’ala tidak atau belum mengabulkan doanya. Padahal semua sebab-sebab dikabulkan doa telah dilakukannya, seperti:
  1. Ikhlas dan tidak berbuat syirik.
  2. Memulai dengan pujian dan salawat.
  3. Dengan sungguh-sungguh dan tidak lalai.
  4. Yakin akan dikabulkan oleh Allah.
  5. Memilih waktu dan tempat mustajab.
  6. Meninggalkan makanan, minuman dan pakaian haram.
  7. Meninggalkan maksiat dan bertaubat.
  8. Mengerjakan ketaatan dan bertawasul dengan nama-nama Allah, dan lain-lain.
Dia berkata, “Ada apa gerangan? Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Allah Maha Kuasa dan mengabulkan doa-doa hamba yang berdoa kepada-Nya? Apakah Allah tidak sayang kepadaku? Bukankah Allah mengatakan:
{ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}
Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.’ (QS Ghafir: 60).”
Sabarlah wahai Saudaraku sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلاَّ آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ.
Tidak ada seorang pun yang berdoa dengan sebuah doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang dimintanya atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya, selama dia tidak berdoa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.”1
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكْثِرُ ، قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ.
Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan sebuah doa yang tidak terkandung di dalamnya dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikannya salah satu dari ketiga hal berikut: Allah akan mengabulkannya dengan segera, mengakhirkan untuknya di akhirat atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya.
Para sahabat berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Beliau berkata, “Allah lebih banyak lagi.”2
Dari kedua hadits di atas kita dapat memahami bahwa seseorang yang telah benar-benar melaksanakan sebab-sebab dikabulkannya doa, insya Allah doanya akan dikabulkan oleh Allah. Jika tidak dikabulkan, maka akan diakhirkan atau diberikan kebaikan oleh Allah di hari kiamat atau Allah akan sengaja tidak mengabulkan doanya di dunia agar dia terhindar dari akibat buruk apabila doa tersebut dikabulkan dan Allah memalingkannya kepada sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia minta.
Pada hadits kedua, kita dapat melihat semangat para sahabat dalam beribadah, mereka mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Itulah yang seharusnya kita lakukan kepada Allah, yaitu memperbanyak doa kepada Allah.
Adapun perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah lebih banyak lagi”, para ulama menyebutkan beberapa makna dari perkataan tersebut, di antaranya:
  1. Allah akan lebih banyak mengabulkannya daripada banyaknya doa yang kalian minta.
  2. Allah akan lebih banyak memberikan karunia dan keutamaan daripada doa yang kalian minta.
  3. Allah tidak akan lemah dengan banyaknya permintaan kalian dan lain-lain.
Dengan melihat kedua hadist di atas dengan lafaz yang berbeda, maka tentu kita akan bertambah yakin bahwa Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui seluruh hikmah dan Maha Sayang kepada hamba-hambanya.
Mudah-mudahan kita bisa terus bersabar menghadapi kehidupan di dunia ini dan mensyukuri seluruh apa yang Allah berikan kepada kita serta bisa selalu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di dalam hadits qudsi Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan
(( أنا عندَ ظنِّ عبدي بي ، فليظنَّ بي ما شاء ))
Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Oleh karena itu, berprasangkalah terhadap-Ku sesuka hatinya.”3
Dan di dalam riwayat lain terdapat tambahan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
(( فلا تظنُّوا بالله إلا خيراً ))
Janganlah kalian berprasangka kepada Allah kecuali dengan prasangka yang baik.”4
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.